Untitled

"Maaf aku tak bisa." Ucap Tara malam itu kepada sahabatnya, tepat saat mereka sampai di depan pagar rumah Tara. Hampir saja Tara menangis, jikalau Ia tak bergegas masuk ke dalam rumah.

--

Malam itu, Tara dijemput Juna sepulang dari kantor. Seperti biasa, mereka mengganjal rasa lapar di warung tenda favorit mereka. Tak ada yang aneh, hanya saja sahabatnya itu lebih banyak diam dan Tara lebih banyak berkata-kata. Tara memang banyak bercanda dan lelaki itulah yang selalu sabar mendengarkan celotehnya. Tetapi kali ini tidak, seperti ada sesuatu yang sedang mengganggu pikiran sahabatnya. 

Banyak teman kantornya yang menganggap bahwa Tara dan pria itu adalah sepasang kekasih karena hampir setiap sore ia dijemput olehnya. Mereka hanya teman, sahabat dekat lebih tepatnya. Tak pernah terpikir untuk menjadikannya hubungan ini lebih dari itu.

"Aku nyaman denganmu. Aku ingin hubungan kita lebih dari teman, lebih dari sahabat." Ucap Juna, diperjalanan selepas dari warung tenda. Jantung Tara berdegup, entah seperti apa rasanya, seperti menang lotere atau seperti mendapat kabar bahwa kucing kesayangannya masuk rumah sakit. Tara diam tak menjawab. "Kau tak seharusnya seperti ini." Ujarnya dalam hati.

Persahabatan antara laki-laki dan wanita memang tidak mungkin. Pernah Tara mendengar stasiun radio favoritnya membahas fenomena ini. Entah salah satunya, si perempuan atau si laki-laki, pasti akan memiliki perasaan yang bisa jadi tak terbalas karena menjaga persahabatan akan dijadikan salah satu alasan klasik.

Ya, Ia gunakan itu sebagai alasan. "Niatku murni untuk berteman denganmu, bukan untuk menjadikanmu lebih dari itu. Tidak sebagai kekasih." tukas Tara pada pria itu, Ia tahu lelaki itu pasti merasakan pahit yang teramat seperti sedang mengunyah obat sakit kepala. Tara melihat Juna meliriknya lewat kaca spion motornya yang diarahkan pada wajah Tara.
Tara memalingkan wajahnya.

Seharusnya Juna mengerti Tara tak merasakan hal yang sama dengannya, terlebih lagi mereka sudah lama berteman baik. Tidak mungkin rusak hanya karena perasaan. Tapi Tara tak bisa memaksa, tak mungkin Tara memakai pakaian yang ukurannya tidak pas dengan postur tubuhnya, tidak akan nyaman. Begitulah mungkin Tara dengan Juna, tidak mungkin memaksakan keadaan ini.

"Ah, bukankah kau sedang dekat dengan seorang wanita?" Tanya tara, mencoba mengalihkan pembicaraan. Mungkin sekarang kalian menilai Tara jahat atau tidak berperikemanusiaan. Tapi Tara tidak bercanda, memang benar Juna sedang dekat dengan seorang kolega di kantornya. Pernah sesekali Tara melihat wanita itu, saat kantor Tara dan kantornya mengadakan kerjasama. Ia wanita yang cantik, menurut Tara. Tapi mengapa Juna tidak bersamanya saja, gumam Tara dalam hati.

Juna fokus dengan jalanan yang memang agak ramai dan tidak menghiraukan suara Tara. Entah dia memang lebih memilih diam, atau dia tidak mendengar jelas apa yang Tara tanyakan. Satu yang pasti, ia sesekali melirik kaca spion lagi yang mengarah ke wajah Tara. Tara pun terdiam. Perjalanan mereka cukup jauh dan membosankan, karena jalur yang mereka tempuh hanya lurus ke depan dan itu bisa berlangsung selama tigapuluh menit.

Tigapuluh menit berlalu, akhirnya perjalanan membosankan itu berakhir. Ia membelokkan setirnya ke kiri dan memasuki gang rumah Tara yang cenderung sepi. Juna sudah hapal jalan menuju rumah Tara, hampir setiap hari mereka pulang bersama. Apalagi jika Tara tidak ada lembur atau libur kerja. "Aku tidak ada rasa apapun kepadanya, aku dan dia hanya teman biasa. Ia pun begitu kepadaku." suara Juna memecah seketika motor yang kami tumpangi masuk gang. Ia mempelankan laju motornya.

"Berulang aku mempertanyakan dalam hati, apa benar aku merasakan ini. Berulang kali aku berpikir tidak mungkin, hatiku semakin mengatakan bahwa ini benar. Aku menginginkan kita lebih dari sekedar sahabat." Ujar pria itu, tegas. Tara tidak mampu menjawab, sekuat tenaga ia mencoba menahan hawa panas yang ada di sekitar pelupuk matanya. Tara takut, kalau ia menyakitinya dan mereka tidak akan bisa seperti ini. Mungkinkah ini malam terakhirnya bertemu dengan pria itu? Akankah mereka tetap seperti biasa setelah semua ini terjadi? Pertanyaan memberondong di kepala Tara yang hampir pecah kalau saja ia tidak menahannya.

"Jangan seperti ini." Ucap Tara lirih. Tak sanggup ia menatap mata Juna. Sudah Tara katakan semua alasannya, dan ia tidak sanggup menerima semua takdir ini. "Maaf aku tak bisa." Ucap tara sekali lagi.


***



Comments

Popular posts from this blog

Resensi Buku: Metodologi Penelitian Sastra

Summary of Short Story : The Man Who Was Almost a Man by Richard Wright